Rezim-rezim Sultanik

ImageMelihat Timur Tengah saat ini —juga kawasan Afrika Utara— menurut istilah Alaa al-Aswany dalam bukunya, On The State of Egypt (2011), seperti melihat panggung pentas. Setiap kali muncul adegan baru, maka setiap kali pula dekorasi di panggung itu harus diganti.


Yang dibutuhkan saat mengganti dekorasi bukan hanya keterampilan, melainkan juga pengetahuan tentang adegan apa yang akan muncul berikutnya sehingga dekorasinya cocok. Dekorasi seperti apa itulah yang kini tengah disiapkan setelah dua ”sultan” zaman modern tumbang: Hosni Mubarak (Mesir) dan Zine al-Abidine Ben Ali (Tunisia).


Orang tidak pernah menyangka bahwa Mubarak yang mendominasi kekuasaan Mesir selama 30 tahun akhirnya jatuh juga. Dunia terkejut. Lebih terkejut dibandingkan ketika penguasa Tunisia, Ben Ali, yang berkuasa 23 tahun jatuh, juga oleh kekuatan rakyat.


Ketika gerakan rakyat muncul di negara-negara Arab lainnya, termasuk di Afrika Utara, orang pun menyebut angin perubahan tengah bertiup di kawasan itu. ”Musim Semi” di Dunia Arab, istilah Lisa Anderson di Foreign Affairs (Mei/Juni 2011). ”Musim Semi” itu menandai tumbangnya rezim ”Sultanik”—begitu istilah yang digunakan Jack A Goldstone di majalah yang sama.


Setelah dua ”sultan” yang membangun ”republik monarki” itu jatuh, negara-negara lainnya di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikuasai rezim ”Sultanik” pun terpengaruh. Penguasa Libya, Moammar Khadafy (telah berkuasa 42 tahun), kini masih berjuang keras mempertahankan kekuasaannya. Sampai kapan Khadafy mampu bertahan?


Presiden Suriah Bashar al-Assad (berkuasa sejak 10 Juni 2000) pun tidak lolos dari perlawanan. Apakah Assad akan mampu keluar dari krisis dan kembali berdiri tegak di atas podium kekuasaan sebagai penguasa tertinggi Suriah?


Assad sebenarnya sudah berusaha bersikap responsif terhadap tuntutan rakyatnya dengan melakukan beberapa reformasi politik. Namun, tindakan tegas dengan mengerahkan kekuatan militer menumpas perlawanan para penentangnya telah menempatkan dia di posisi sulit.


Nasib Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, yang sudah berkuasa 30 tahun, tak jauh berbeda. Dia dituntut mundur karena dianggap tak mampu mengatasi krisis ekonomi dan memperbaiki kondisi politik. Ia juga menghadapi tuntutan pemisahan masyarakat Yaman bagian selatan dan gangguan keamanan oleh kelompok Al Qaeda.


Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa untuk sementara bisa berlindung di balik kekuatan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Namun, sampai kapan hal itu bisa berlanjut? Konflik sektarian lebih membayangi Bahrain yang sejak berdiri tahun 1971 dikuasai minoritas Sunni, sementara 70 persen dari rakyatnya yang berjumlah 600.000 jiwa adalah Syiah.


Karena tidak ingin bernasib seperti para penguasa lainnya di kawasan itu, Raja Maroko Muhammad VI menawarkan amandemen konstitusi referendum agar lebih demokratis. Apakah tawaran referendum, 1 Juli mendatang, akan diterima rakyat?


Lakon apa lagi yang dipentaskan di kawasan itu? Apakah para ”sultan-sultanan” dan sultan sungguhan akan tumbang? Banyak orang akan terkejut, seperti Alaa al-Aswany dan orang-orang Mesir yang terkejut melihat Mubarak tumbang. Seperti Indonesia tahun 1998! Rakyat Mesir kini tengah menunggu seperti apa ”dekorasi” baru yang akan ditampilkan. Ini seperti yang dikatakan oleh Livius, sejarawan Romawi Kuno, apa yang akan terjadi nanti malam belumlah pasti. Begitulah! (kompas)