Standar Ganda HAM “Made in” Barat

Image634636020193283684Komisi III Majelis Umum PBB baru-baru ini merilis resolusi mengenai pelanggaran HAM di Iran. Sebelumnya, Kanada dengan dukungan sejumlah negara Barat mengeluarkan draf resolusi baru pelanggaran hak asasi manusia di Iran yang disusun berdasarkan laporan ilegal. Dari 193 negara anggota Majelis Umum PBB, hanya 83 anggota yang memberikan dukungan suara positif. Sedangkan 44 negara menolak, dan 59 absen dalam pengambilan suara.

Mohammad Jawad Larijani, Penasehat Urusan Internasional Ketua Mahkamah Agung Iran pasca pertemuan Komisi III Majelis Umum PBB mengatakan, "Resolusi ini tidak ada kaitannya dengan hak asasi manusia. Sebagaimana tudingan Barat terhadap Tehran sebelumnya menyangkut masalah nuklir dan dukungan terhadap teroris yang menunjukkan babak baru eskalasi kebencian Barat terhadap Iran."

Seraya menyinggung lemahnya institusi PBB dalam menjalankan tugasnya sesuai mekanisme yang acapkali ditunggangi kepentingan adidaya arogan, Jawad Larijani mengatakan, "PBB masih jauh dari tujuan idealnya sebagai lembaga milik seluruh negara anggotanya." Bukan pertama kalinya negara-negara Barat mengintervensi PBB, dan memanfaatkan lembaga internasional itu untuk membenamkan kepentingannya terhadap negara lain.

Kali ini, dalih hak asasi manusia Barat menekan ekonomi dan politik Iran serta mengucilkan Tehran di arena internasional. Di saat yang sama Barat bungkam menyikapi berbagai pelanggaran HAM di negara-negara kawasan seperti Yaman, Bahrain dan Arab Saudi. Hingga kini, negara-negara Barat tidak pernah mengeluarkan sikap tegas bahkan yang paling kecil sekalipun mengenai pelanggaran HAM di negara-negara despotik itu.

Selama ini para penguasa di sejumlah negara kawasan seperti Arab Saudi, Bahrain dan Yaman tidak pernah mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi sebagaimana digariskan Barat. Namun negara-negara Barat diam seribu bahasa menyikapi pelanggaran Hak asasi manusia yang dilakukan rezim-rezim Arab, sebab mereka adalah sekutu stategis dan kunci bagi negara-negara Barat di Timur Tengah.

Kini, hampir setahun berlalu sejak meletusnya gelombang kebangkitan rakyat melawan rezim despotik yang didukung Barat di kawasan Teluk Persia hingga Afrika Utara. Tumbangnya rezim diktator seperti Ben Ali di Tunisia, dan Mubarak di Mesir menjadi pukulan telak bagi Barat sendiri. Hingga kini Barat juga masih saja melindungi rezim-rezim monarki yang tidak demokratis itu demi melindungi kepentingannya di kawasan.

Sikap represif pasukan rezim Yaman, Bahrain dan Arab Saudi menimbulkan  korban dari pihak rakyat sipil  yang terus berjatuhan. Di negara-negara itu, tuntutan damai rakyat mewujudkan pemerintahan demokratis tidak pernah terwujud bahkan menjadi bumerang bagi para penuntutnya sendiri.

Para demonstran yang menuntut hak-haknya secara damai justru ditangkap dan dijebloskan dalam penjara tanpa mekanisme pengadilan dan pembelaan diri. Di Saudi sendiri dilaporkan lebih dari 30.000 tahanan politik dikurung di penjara-penjara negara itu. Para aktivis HAM mengungkapkan bahwa sebagian besar tokoh politik ditahan oleh pemerintah tanpa pengadilan atau tuduhan yang sah dan mereka ditangkap hanya karena terlihat mencurigakan. Beberapa tahanan dilaporkan dikurung tanpa pengadilan selama lebih dari 16 tahun.

Human Rights Watch mengatakan lebih dari 160 oposisi telah ditangkap sejak Februari, sebagai bagian dari tindakan keras pemerintah Saudi terhadap pengunjuk rasa. Menurut lembaga HAM berbasis di Saudi, Human Rights First Society (HRFS), para tahanan telah mengalami penyiksaan baik secara fisik dan mental.

Ironisnya, hingga kini organisasi hak asasi manusia PBB secara resmi tidak  pernah mengirimkan satu tim pemantau independen untuk menyelidiki kejahatan anti kemanusiaan di Bahrain, Arab Saudi dan Yaman.

Dalam kondisi demikian, Komisi III HAM Majelis Umum PBB berdasarkan laporan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya menuding Iran melanggar hak asasi manusia. Tudingan Barat terhadap Iran tersebut sepenuhnya politis demi kepentingan negara-negara arogan dunia.

Sejarah membuktikan bahwa negara-negara Barat yang getol menyebut dirinya sebagai pengusung hak asasi manusia adalah para pelaku utama berbagai kejahatan kemanusiaan dan hak asasi manusia di dunia. Mereka juga merupakan imperialis yang menjarah kekayaan negara-negara dunia ketiga.

Pemerintahan Barat alih-alih tidak bersedia mengakui berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya di masa lalu, justru melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah London mengeluarkan izin melakukan berbagai bentuk kejahatan bagi pasukan keamanan Inggris bukan hanya di dalam negeri bahkan dilakukan  di negara lain. Faktanya adalah kejahatan perang dan kemanusiaan yang dilakukan pasukan Inggris dan AS di Irak dan Afghanistan.

Jika kejahatan ini dilakukan oleh negara lain tentu saja para pemimpin negara itu akan diseret ke meja hijau dengan dakwaan melakukan kejahatan perang. Tapi ka rena kejahatan itu dilakukan oleh negara adidaya seperti Inggris dan AS maka para pemimpin negara itu lolos dari dakwaan tersebut. Pasca terbongkarnya kejahatan perang yang dilakukan para serdadu dan perwira militer Inggris dan AS di penjara Abu Ghuraib dan Begram di Irak dan Afghanistan, ironisnya tidak seorangpun  dari militer kedua negara arogan dunia itu diseret ke meja hijau.

Dengan track record buruk di bidang hak asasi manusia itu mereka kini malah mengklaim sebagai pengusung hak asasi manusia dan menuding negara lain seperti Iran sebagai negara pelanggar HAM. Mereka juga tidak tanggung-tanggung memperalat organisasi internasional semacam PBB untuk mengeluarkan resolusi sanksi baru terhadap Tehran. Inilah motif draf resolusi sanksi baru anti Iran di komisi III hak asasi manusia Majelis Umum PBB mengenai tudingan pelanggaran HAM Iran.

Kini, negara-negara arogan dunia seperti AS dan Inggris menghalalkan berbagai cara untuk meningkatkan tekanan terhadap Iran supaya Tehran bertekuk-lutut terhadap ambisi kepentingan Barat. Namun dugaan mereka keliru. Semakin ditekan, Iran kian mandiri dan maju dengan caranya sendiri. Sanksi itu lambat atau cepat justru menjadi bumerang bagi Barat.

Saat ini, Washington dan London gagal mewujudkan tujuannya menginvasi Irak dan Afghanistan. AS dan Inggris akhirnya meninggalkan negara muslim itu dengan tangan kosong, meski mereka telah menggelontorkan biaya yang sangat besar yang ditarik dari para pembayar pajak dalam negeri. Di sisi lain, posisi AS pun semakin terpuruk menyusul tumbangnya rezim despotik boneka mereka di kawasan. Sementara itu, gejolak protes di dalam negeri akibat guncangan krisis ekonomi semakin akut dari sebelumnya.(IRIB Indonesia/PH)