Renungan Upah Sang Pembantu

Renungan Upah Sang Pembantu

Renungan Upah Sang Pembantu -
Ilustrasi (inet)
Zhuhur di sebuah sudut kota. Orang-orang tampak keluar dari gedung perkantoran untuk menunaikan shalat Zhuhur, dan sebagiannya lagi menyusuri jalan untuk mencari santapan makan siang. Usai shalat Zhuhur di sebuah masjid kantor, saya pun mencari tempat makan. Maklum, saya juga sudah lapar. Akhirnya pilihan saya jatuh pada sebuah warung nasi (warnas) yang nyempil di pinggir sebuah gang. Sengaja saya pilih tempat makan yang ini, karena mau menyesuaikan dengan isi dompet.
Tanpa banyak basa-basi, juga karena lapar, saya pun mengambil nasi beserta lauk-pauk di etalase warnas tersebut. Seperti biasa, kalau warnas yang seperti ini, bayar belakangan. Tanpa banyak basa-basi pula, saya segera mencari tempat duduk. Kalau tidak segera, bisa keduluan oleh yang lain. Makan siang memang saat-saat yang selalu dinantikan oleh orang yang lapar di siang bolong begini. Sesaat kemudian, seorang paruh baya duduk di dekat tempat saya. Badannya agak gemuk, kumis, janggut, dan rambutnya sudah beruban. Ditambah peci beludru hitam yang sudah agak bladus. Tampaknya saya pernah melihat bapak yang satu ini. Kalau tidak salah, dia adalah muadzin yang tadi di masjid kantor.
“Kenapa Dek? Ayo-ayo, dimakan!” Sapaannya menyadarkan saya yang tengah mengingat-ingat siapa dia dan di mana kami pernah bertemu.
“Oo…oo… I…iya, Pak.” Respon saya yang saat itu setengah terkejut.
Sesadar mungkin, saya pun menyantap sepiring nasi beserta telor kecap dan tumis buncis ini. Memang masih ada rasa penasaran, tapi mungkin akan lebih baik bila saat ini makanannya dihabiskan dulu. Sambil menunggu ia beres makan juga. Setelah itu -kalau sempat- mungkin saya akan mengajaknya ngobrol. Kesempatan memang tak akan ke mana-mana. Saya sudah selesai makan, dia pun demikian. Tinggal minum sambil istirahat sejenak.
“Pak. Bapak tuh muadzin yang tadi di masjid ya?” Tanya saya penasaran.
“Hehe… bukan, Dek. Saya cuma OB. Cuma pembantu di kantor itu.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Ooo…???”
“Hehehe… iya, saya cuma OB. Tapi kadang saya sekalian adzan juga kalau udah waktunya.”
“Hmm…”
“Adek, pegawai baru?”
“Eheh, bukan Pak. Saya cuma numpang shalat. Kebetulan tadi keburu adzan, jadi saya shalat di sana.” Memang letak masjid kantor ini berada di pinggir komplek perkantoran, jadi orang yang sekadar lewat pinggir kantor pun bisa numpang shalat di masjid kantor ini.
“Ooohh. Gitu toh. Iya…iya…iya.” Balasnya sambil mengangguk.
…
“Kerjanya di mana, Dek?” Dia kembali bertanya.
“Hehe, belum Pak. Saya masih kerja serabutan.” Jawab saya sambil nyengir. Malu.
“Ya sudahlah, kalau begitu. Terus semangat ya! Bapak duluan.” Bapak tua ini pun beranjak dari tempat duduknya, menemani seorang pegawai yang mengajaknya berangkat.
Bapak duluan…?
Terkesan seperti seorang bapak bersikap pada anaknya. Padahal kami baru saja bertemu secara tak sengaja di tempat seperti ini. Tapi itulah kesan pertama saat bertemu dengannya. Kesan kebapakan. Posturnya lumayan gemuk, beruban, mengenakan peci yang sudah bladus, dan suaranya yang sedikit serak agak berat, namun bernada akrab.
Semakin sering mampir ke warung nasi ini, saya makin mengenalnya. Entah itu ngobrol langsung dengan beliau atau dari cerita pemilik warnas ini. Pak Koes, begitulah orang-orang memanggilnya. Dia bekerja sebagai office boy (OB) di sebuah kantor yang letaknya tak jauh dari warnas ini.
Selain jadi OB, dia juga kerap menjadi marbot masjid di kantor tersebut. Orang-orang di kantornya menilai bahwa ia adalah sosok yang tepat untuk mengelola masjid kantor tersebut. Agamanya terbilang baik dan dia memiliki sifat kebapakan. Hal ini juga yang akhirnya membuat orang-orang di kantor suka mendatanginya untuk berkonsultasi mengenai masalah sehari-harinya. Masalah keluarga, anak, istri, dan sebagainya. Begitulah cerita yang saya dengar dari pemilik warnas. Selain sebagai pelanggan, Pak Koes sudah dianggap sebagai teman dekat. Itu karena Pak Koes suka membantunya dengan nasihat dan berbagi pengalaman, tapi kadang ada gilirannya juga pemilik warnas ini yang membantu Pak Koes.
“Yaaahhh… kadang Pak Koes pinjam uang untuk keperluan keluarganya.”
“Pinjam uang?”
“Iya pinjam uang. Penghasilannya sebagai OB nggak begitu mencukupi buat kebutuhan sehari-harinya. Dia juga kan manusia.”
“Lalu, Bapak sendiri gimana? Bapak juga kan butuh uang.” Tanya saya pada pemilik warnas.
“Memang. Tapi seenggaknya saya kepengen ngebalas kebaikannya. Dia sering membantu saya. Karena ngikutin nasihatnya, keluarga saya jadi lebih akur, tentrem, bahagia.”
…
Memang di kantor itu beliau hanya seorang OB, tapi Pak Koes yang asli ternyata tidaklah seperti yang saya kira. Saya telah salah menilainya. Sebagai orang yang bergelar ‘OB’, ia ternyata lebih dari sekadar pembantu.
Pak Koes. Begitulah pria tua itu dipanggil. Pekerjaannya adalah sebagai OB di kantor. Yah, dia adalah seorang pembantu. Pembantu yang tak hanya bersih-bersih, dan mengurusi dapur. Dia adalah pembantu yang kerap membantu orang lain menemukan kebahagiaan.
Andai kita yang menjadi bosnya, berapa besar upah yang akan kita berikan untuk membayar pembantu yang satu ini?