Tangan AS Dalam Transisi Libya

Di saat isu disintegrasi semakin menguat di Libya, pemimpin otonomi Cyrenaica, Sheikh Ahmed al-Zubair Senussi menyatakan siap berunding dengan Ketua Dewan Transisi Nasional (NTC), Mustafa Abdel Jalil untuk membahas otonomi wilayah timur.

Cyrenaica merupakan wilayah pertama yang mengumumkan otonomi pasca tumbangnya rezim Gaddafi. Pada Selasa (6/3), sebuah pertemuan yang dihadiri sekitar 3.000 orang di kota Benghazi mengumumkan bahwa wilayah kaya minyak Cyrenaica sebagai daerah otonom.

Presiden Interim Libya mereaksi keras pengumuman otonomi wilayah Cyrenaica yang dikemukakan para pemimpin suku di wilayah timur. Abdel Jalil mengancam akan mengggunakan cara-cara kekerasan untuk mencegah penerapan sistem federal yang mengemuka bersamaan dengan pengumuman otonomi Cyrenaica.

Pemerintahan Tripoli menolak model pemerintahan federal yang pernah diterapkan di Libya antara tahun 1951 hingga 1969. Ketika itu, Libya terbagi menjadi tiga negara bagian yaitu, Tripolitania di barat, Fezzan di selatan and Cyrenaica di timur.

Pemerintah transisi nasional Libya menilai pengumuman otonomi Cyrenaica merupakan konspirasi sejumlah negara Arab dan Amerika Serikat untuk memecah belah negara kaya minyak itu. Padahal, saat ini Libya tengah membutuhkan persatuan bangsa untuk membangun dan mewujudkan stabilitas dan keamanan nasional. Abdel Jalil menuding sejumlah negara Arab mendukung dan mendanai para pemimpin suku yang menyuarakan federalisasi Libya.

Presiden Interim Libya memandang negara kaya minyak di wilayah Afrika Utara ini belum siap untuk menerapkan sistem federal, dan mendesak para pemimpin suku di wilayah timur untuk bersatu dengan wilayah lainnya. Dalam kondisi sensitif saat ini, pengumuman otonomi wilayah Cyrenaica akan menyebabkan disintegrasi Libya.

Tampaknya kepentingan ekonomi menjadi motif utama di balik isu otonomi wilayah Cyrenaica. Pasalnya, sekitar 66 persen cadangan minyak Libya berada di wilayah tersebut. Dan kekuatan hegemonik global memanfaatkan isu otonomi wilayah Cyrenaica untuk mengeruk kekayaan alam di wilayah timur itu.

Motif itu pulalah yang membuat AS dan negara-negara Barat mengerahkan pasukan dan peralatan militer untuk menggulingkan rezim Gaddafi. Tentu saja, bom dan roket itu tidak gratis yang harus dibayar dengan minyak dan gas yang melimpah di Libya.

Para analis memperingatkan jika perundingan antara presiden interim Libya dengan keponakan Raja Idris, mantan raja Libya yang terguling dalam kudeta 1969 yang dipimpin Gaddafi tidak membuahkan hasil, maka kemungkinan besar akan terjadi perang saudara. Dan inilah yang sedang dinantikan negara arogan seperti AS.

Tampaknya, lawatan Perdana Menteri Abdel Rahim al-Kiband ke Washington dan pertemuannya dengan Obama baru-baru ini sebagai bentuk upaya mencegah terjadinya disintegrasi Libya. Dan kali ini, Washington memainkan dua kartu sekaligus di Libya dengan mendukung pemerintahan transisi, sembari menyokong federalisasi yang berujung disintegrasi negara kaya minyak itu.