Agar Putih tak Jadi Abu-abu

Oleh: Muhammad Nuh

Kirim Print
dakwatuna.com -”Islam itu bersih, maka bersihkanlah dirimu. Sesungguhnya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersih.” (HR Dailami)

Maha Agung Allah swt. yang telah menunjukkan hambaNya tentang warna-warni hidup. HidayahNya menguatkan sinar fitrah manusia yang putih untuk tetap putih. Dan yang sebelumnya hitam menjadi kembali putih dan bersih. Putih menunjukkan kebersihan. Dan hitam memperlihatkan kekotoran. Keduanya tidak akan menyatu. Seperti itulah sunnatullah buat semesta alam.

Hamba Allah yang istiqamah akan senantiasa menjaga diri supaya tetap bersih. Karena bersih menarik berbagai kemudahan dan keberkahan hidup. Di antaranya:

Kesuksesan berbanding lurus dengan kebersihan

Tiap orang pasti ingin hidup sukses. Mereka berusaha mencari jalan agar sukses cepat diraih. Mulai dari persiapan dalam diri hingga upaya sungguh-sungguh mencari dukungan luar. Bisa berupa ilmu, modal usaha, relasi kerja, dan lobi-lobi dalam dunia politik.

Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa kesuksesan diri bersifat menyeluruh. Artinya, tidak melulu pada sukses bisnis, studi, jodoh, dan karir. Tapi, mesti mencakup segala sisi diri seorang manusia.

Itu bisa berarti apa saja yang ada dalam diri seperti hati yang melahirkan motivasi, akal yang merangsang tumbuhnya gagasan, dan pemenuhan kebutuhan jasad yang menghasilkan keseimbangan tubuh. Juga, segala hal yang melingkupi luar diri seperti hubungan harmonis dengan lingkungan, kemampuan meningkatkan sumber daya dan lain-lain.

Namun, semua unsur sukses itu akan menemui jalan buntu jika inti dalam diri masih labil, kotor, dan tidak terawat. Itulah yang disebut hati dan jiwa. Hati dan jiwalah yang akhirnya menjadi penentu seperti apa motivasi, gagasan, kesungguhan gerak akan bergulir. Jika hati dan jiwanya keruh, maka aliran motivasi, gagasan, gerak oleh tubuh akan tersendat. Kalau pun dipaksakan untuk berjalan akan tampil kacau dan tak seimbang.

Seperti itulah yang kini dialami mereka yang jiwanya kering dari sentuhan iman. Gemerlap materi sama sekali tidak mampu membendung gelisah. Selalu tidak pernah puas. Bahkan, mereka tidak lagi tahu mau kemana diri berjalan. Kesuksesan menjadi fatamorgana yang terlihat begitu melimpah, pada hakekatnya kosong tanpa makna.

Maha benar Allah dalam firman-Nya, “Sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Seorang hamba Allah yang takwa teramat sadar kalau sukses bukan cuma pada takaran dunia. Tapi juga untuk kehidupan akhirat. Dua target ini seolah terpisah. Tapi sebenarnya satu dan mengikat.

Sukses hidup buat seorang mukmin tidak identik dengan melimpahnya kekayaan, kesuksesan karir, mudahnya jodoh, dan kehormatan sebuah jabatan. Sukses hidup sebenarnya adalah ketika seorang hamba menemui ajalnya dalam rengkuhan ridha Allah swt.

Kasih sayang Allah bersama mereka yang bersih

Tidak ada tujuan hidup yang lebih tinggi kecuali menggapai ridha Allah. Apalah arti ridha seorang manusia buat seorang mukmin tanpa ridha dan kasih sayang Allah swt. Karena semua kasih sayang manusia sangat berbatas. Kalau tidak pada mutu, pasti pada ukuran waktu.

Sayangnya, kekerdilan nalar manusia kadang menggiringnya pada kesimpulan yang dangkal. Kasih sayang disamakan dengan kemudahan dan kenyamanan hidup. Padahal hidup tak lebih dari sekadar ruang ujian. Semakin sulit soal yang diterima, kian tinggi mutu seorang murid. Dan kebahagiaan sejati terlahir ketika seorang murid mendapat nilai akhir yang sangat memuaskan.

Sesuatu yang suci akan selalu bersama dengan yang bersih. Allah swt. Maha Suci, dan senantiasa mencurahkan kasih sayangNya pada hamba-hambaNya yang bersih. Kebersamaan akan melahirkan ikatan. Dan ikatan akan membuahkan cinta dan kasih sayang.

Maha Benar Allah dengan firmanNya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah: 222)

Simpati dan dukungan selalu tertuju pada yang bersih

Setiap manusia punya fitrah. Dan fitrah akan selalu condong pada yang bersih. Siapa pun dia, kecenderungan pada yang bersih akan selalu ada. Sejalan dengan kecenderungan itu, fitrah pun mengajak manusia membenci yang kotor.

Begitulah saat manusia mencintai kebersihan dan keindahan. Ketika manusia suka dengan yang teratur, disiplin dan kejujuran. Ketika manusia benci kekotoran, kebusukan, dan kesombongan.

Sayangnya, debu-debu kehidupan kerap menciderai fitrah. Bisa berupa tarikan nafsu berkuasa, takut hidup susah, dan kecenderungan mencintai kenikmatan hidup. Jika ini tak segera dibenahi, cahaya fitrah akan redup.

Namun begitu, cahaya fitrah ini akan kembali bersinar ketika ada tarikan dari kekuatan fitrah yang lebih besar. Lambat-laun, sinar fitrah yang semula redup akan tergiring dan akhirnya bersinar terang.

Seperti itulah ketika Rasulullah saw. menyatakan diri sebagai utusan Allah. Diam-diam masyarakat melirik dan kemudian benar-benar tertarik. Termasuk para tokoh Quraisy yang menyatakan diri memusuhi Rasulullah, padahal fitrahnya mulai hidup bersama ajaran Rasulullah. Kalau pun ada yang menyangkal, tak lebih dari kepura-puraan dan gengsi. Dan untuk mengubah itu, Allah hanya memberi waktu sekitar dua puluh tiga tahun. Sebuah perubahan yang teramat cepat.

Kebersihan dan kekotoran tidak akan pernah sama. Juga, tak akan bisa menyatu. Yang berat adalah ketika yang bersih berinteraksi dengan yang kotor. Maka keduanya akan saling mempengaruhi. Dan semuanya berujung pada siapa yang paling kuat.

Semoga kita tidak pernah beranggapan bahwa bersih serupa dengan stempel yang tidak pernah berubah. Ia perlu pengawasan dan perawatan. Agar yang bersih dan putih terus tetap bersih. Kalau tidak, boleh jadi putih akan bergeser warna. Bisa kehitam-hitaman, atau paling tidak abu-abu.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/agar-putih-tak-jadi-abu-abu/



Share