Sikap Kontradiktif AS dan Israel Hadapi Kebangkitan Rakyat Arab

ImageMencermati transformasi terbaru di Timur Tengah dan sikap Amerika Serikat serta Israel terhadap kondisi ini, kita akan menemukan banyak kebijakan kontradiktif Washington dan Tel Aviv baik transparan maupun tidak dalam menyikapi kawasan.


Tak pelak, transformasi di Timur Tengah dan Afrika Utara membuat proses politik dan sosial di negara-negara kawasan mengalami perubahan signifikan. Selain itu, muncul wajah Timur Tengah baru. Kebangkitan rakyat yang dimulai permulaan tahun ini di Tunisia dan Mesir telah menggoyang pilar-pilar kekuasaan rezim di Libya, Bahrain, Yaman dan Jordania. Bersamaan dengan kebangkitan rakyat di kawasan, iklim politik dan sosial di Timur Tengah dan Afrika Utara pun terkena imbasnya. Sistem politik di Arab Saudi, Kuwait, Oman, Aljazair, Maroko, Suriah dan negara Arab lainnya dalam beberapa bulan terakhir juga mengalami perubahan. Di negara-negara tersebut mulai terjadi aksi protes warga.


Maraknya aksi demo di Timur Tengah dan Afrika Utara menyita perhatian para pemimpin Amerika Serikat. Washington berusaha menunggangi kebangkitan rakyat di kawasan untuk mempertahankan kepentingannya. Dalam hal ini Amerika menerapkan kebijakan dualismenya. Secara tersirat Gedung Putih menyatakan dukungannya terhadap kubu reformis dan di sisi lain, Washington dengan hati-hati tetap mempertahankan hubungannya dengan sekutu dekatnya di kawasan.


Lagi pula, Amerika yang menjadi pelindung dan penjaga eksistensi Rezim Zionis Israel -ibarat seorang ibu melindungi anaknya- menerapkan kebijakan yang sangat kontradiktif. Washington terkadang terkesan sangat lamban dalam menyikapi transformasi di kawasan, namun terkadang sangat cepat memberikan reaksi. Bahrain adalah contoh nyata dari kelambanan AS dalam menentukan sikap. Namun di Mesir dan Tunisia negara adidaya ini terhitung cepat dalam memberikan reaksi. Apalagi di Libya, Presiden AS, Barack Obama pun sampai tak sempat meminta izin kepada parlemen untuk bergabung dengan NATO menyingkirkan Muammar Gaddafi.


Sementara itu, menurut para pengamat, masalah energi dan fundamentalis menjadi dua landasan kebijakan Amerika di Timur Tengah. Selama ini, kawasan Timur Tengah menjadi penyuplai utama energi ke dunia termasuk Barat. Selain itu, masih terdapat Republik Islam Iran yang dipandang Washington sebagai ancaman pemindahan energi. Peristiwa 11 September 2001 juga menjadi senjata ampuh Amerika sehingga para pemimpin Gedung Putih ramai-ramai menampilkan kubu fundamental sebagai ancaman keamanan nasionalnya. Hal inilah yang membuat AS membidik struktur budaya, sosial dan ekonomi negara kawasan. Doktrin seperti Timur Tengah Baru dan Timur Tengah Raya pun gencar dipublikasikan AS.


Adapun Israel tak seperti AS yang menempuh kebijakan yang sangat ruwet. Hal ini disebabkan Tel Aviv telah tersingkir sejak terjadinya kebangkitan di kawasan. Oleh karena itu, sikap Israel terhadap negara kawasan sebelum terjadinya gelombang protes rakyat sangat menentukan bagi Tel Aviv dalam menyikapi transformasi terbaru di Timur Tengah. Apa yang terjadi di Mesir pasca tumbangnya Hosni Mubarak dan naiknya Omar Suleiman memimpin Dewan Militer membuktikan bahwa Tel Aviv masih memiliki pendukung. Omar Suleiman sempat mengumpulkan para pemimpin pejuang Palestina di Kairo dan menekan mereka untuk tidak memusuhi Israel. (irib)