Lobi Kaum Zionis Penentu Siapa Pemimpin AS

ImageSejak beberapa dekade lalu, AS sebagai kekuatan adidaya dunia berusaha mengarahkan semua transformasi yang terjadi di kawasan Timur Tengah untuk kepentingannya termasuk memanfaatkannya untuk melegitimasi keberadaan Israel sebagai negara di kawasan ini. Menilik perkembangan di kawasan setelah kemenangan revolusi Islam di Iran tahun 1979 lalu kekalahan beruntun yang diderita rezim Zionis Israel di Lebanon yang memaksanya keluar dari wilayah selatan negara itu pada tahun 2000 membuat pengaruh AS dalam perkembangan di kawasan semakin redup.


Kebijakan militerisme yang dijalankan pemerintahan Bush Junior dengan menyerang Afghanistan lalu Irak adalah salah satu upaya untuk mengakhiri proses melemahnya kekuatan strategis AS ini. Seiring dengan itu para perancang strategi AS rajin menebar omongan tentang peta Timur Tengah Baru, namun di tengah medan, militer AS justeru terlilit kesulitan yang sangat besar. Agresi ke Afghanistan dan Irak semakin memperburuk citra AS di dunia, khususnya di mata bangsa-bangsa di kawasan.


Demonstasi menentang kebijakan ekspansionisme AS tidak hanya terbatas pada pengungkapan kebencian terhadap negara adidaya itu, tetapi juga mengguncang pilar-pilar kekuasaan rezim-rezim despotik dukungan AS. Sikap Washington menarik. Setelah terjebak dalam sikap kontradiktif akibat keterkejutan yang sangat menyaksikan kebangkitan rakyat di kawasan, kini AS berusaha keras mengarahkan fenomena yang terjadi untuk kepentingannya dan memalingkan revolusi rakyat ini dari tujuan aslinya.


Apa yang terjadi di Timur Tengah tentu saja berpengaruh langsung terhadap Rezim Zionis Israel. Selama ini, dengan mengantongi dukungan penuh dari AS dan sejumlah negara Barat serta kepasifan sikap rezim-rezim despotik Arab, Israel sangat leluasa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat Palestina tanpa merasa cemas akan reaksi yang mungkin muncul. Namun kini, kondisi bakal berubah. Pergolakan rakyat di Timur Tengah dan utara Afrika telah mengubah keadaan dan membuat posisi Israel terpojok. Tentunya, Rezim Zionis berharap AS dan negara-negara Barat tetap membela dan mendukungnya secara penuh. Untuk menggalang dukungan ini PM Benyamin Netanyahu melakukan lawatan ke AS, Inggris dan Perancis. Di Paris dan London, Netanyahu gagal meyakinkan pemerintah Inggris dan Perancis untuk tidak mendukung berdirinya negara Palestina merdeka. Nampaknya, sikap itu terpaksa diambil kedua negara tersebut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan di Timur Tengah. Meski Paris dan London baru menyatakan sedang mempelajari masalah kemerdekaan Palestina, namun hal itu sudah cukup menyakitkan bagi PM Israel.


Di Washington, Netanyahu dikejutkan oleh pernyataan Presiden Barack Obama yang baginya terasa baru. Obama meminta Israel untuk menghentikan proyek permukiman Zionis, kembali ke meja perundingan dengan Palestina dan menerima perbatasan tahun 1967. Pernyataan Obama itu membuat geram Netanyahu, para pembesar Zionis dan kubu pendukung zionisme. Mitt Romney, mantan gubernur Massachusetts dari kubu Republik mengatakan, dengan pernyataannya itu, Obama ibaratnya telah melemparkan Israel ke bawah roda kendaraan. Dia telah memberi poin kemenangan kepada pihak Palestina bahkan sebelum dimulainya kembali perundingan. Seiring dengan itu, Newt Gingrich, mantan ketua DPR yang dikenal sebagai anggota AIPAC, lobi kuat Israel di AS mengenai pernyataan Obama mengatakan, "Ini adalah pidato Presiden AS yang paling membahayakan eksistensi Israel."


Kata-kata Barack Obama tentang mundurnya Israel ke perbatasan 1967 menjadi topik hangat yang mewarnai media-media lokal Israel. Yehiot Aharonot menulis, "Dengan mendesak kemerdekaan Palestina dengan batas wilayah tahun 1967 yang langsung ditentang oleh PM Benyamin Netanyahu, Barack Obama praktis telah menantang Israel." Koran ini dalam analisanya menyebutkan, pernyataan Obama sungguh di luar dugaan Netanyahu. Sementara itu, Maariv, koran Israel lainnya mengenai masalah yang sama menulis, mulai saat ini Netanyahu akan melakukan apa saja untuk mencegah terpilihnya kembali Barack Obama.


Derasnya kecaman dan protes dari kalangan Zionis dan lobi-lobi pendukungnya memaksa Barack Obama untuk mengendurkan sikap. Empat hari setelahnya, saat berbicara di forum AIPAC, sang Presiden mengatakan bahwa yang ia maksudkan dengan perbatasan tahun 1967 adalah pihak Palestina dan Israel merundingkan bersama perbatasan wilayah di antara mereka, yang berbeda dengan perbatasan bulan Juni 1967. Dengan demikian, Gedung Putih tidak komitmen dengan ketentuan internasional yang telah disetujuinya sendiri. Penolakan ketentuan internasional itu berarti bahwa negara Palestina yang bakal berdiri nanti hanya meliputi dua persen dari seluruh wilayah negeri Palestina atau sekitar sepersepuluh wilayah tahun 1967.


Pidato Barack Obama di forum AIPAC disambut baik oleh kalangan Zionis. Departemen Luar Negeri Israel dalam reaksinya menyatakan, Obama meyakini bahwa penyampaian kata-katanya yang kurang baik telah sudah disalahartikan. Sebab, Obama yakin bahwa AS dan Israel tidak bisa dipisahkan. Karenanya, komitmen AS terhadap keamanan Israel tegas dan sangat kokoh. Reporter Voice of America (VOA) di Tel Aviv mengatakan, pidato Barack Obama di forum AIPAC diyakini oleh para pengamat Israel sebagai upaya untuk mencairkan ketidakharmonisan hubungan pribadinya dengan Netanyahu dan menekan derasnya arus kritik dan kecaman Yahudi AS dan kubu Republik terhadapnya. Ditambahkannya, musim semi tahun 2008, Obama yang menjadi kandidat Demokrat untuk pemilihan presiden berhasil menarik dukungan warga Yahudi AS setelah menyampaikan pidatonya yang berapi-api di forum AIPAC. 78 persen Yahudi AS lebih memilih dia dibanding Senator John Mc Cain dari kubu Republik yang selalu dikenal sebagai pendukung Israel.


Dua pidato Barack Obama tentang kemerdekaan Palestina dan perbatasan wilayah tahun 1967 yang sangat bertentangan dan disampaikan hanya selang beberapa hari itu membuktikan bahwa lobi Yahudi memang mempunyai kekuatan besar di lembaga-lembaga pengambil keputusan di AS. Lobi inilah yang menentukan siapa yang berhak untuk dipilih sebagai Presiden di AS dan siapa yang tidak. (irib)