Atasi Depresi, Militer AS Tingkatkan Penggunaan Obat Sakit Jiwa

ImageDiantara 300.000 prajurit Amerika Serikat yang pulang dari misi Irak dan Afghanistan, dilaporkan banyak mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD), cedera otak traumatis, dan depresi.


Untuk merawat pasien-pasien ini, para dokter militer AS kini semakin banyak menggunakan obat-obatan untuk penyakit jiwa. Jumlahnya lebih besar jika dibandingkan dengan perang-perang sebelumnya, demikian dilaporkan Rhonda Pence, koresponden Press TV di Washington.


Semakin luasnya penggunaan obat-obatan tersebut ada hubungannya dengan masalah-masalah seperti ketergantungan obat, kecelakaan fatal, serta bunuh diri di kalangan prajurit.


Ketersediaan obat-obatan resep juga turut andil dalam meningkatnya penyalahgunaan obat, khususnya opium, di antara para prajurit. Selain itu, menumpuknya stok obat juga merupakan penyebab kasus overdosis di kalangan prajurit Amerika.


Penggunaan obat-obatan nonmedis di kalangan militer juga memiliki konsekuensi yang fatal. Tahun lalu, lima orang prajurit AS yang meminum Hasish mengaku telah menghabisi tiga orang warga sipil di Afghanistan.


Data terakhir mengungkapkan bahwa pengeluaran militer untuk membeli obat penyakit jiwa berjumlah $280 juta pada tahun 2010, dua kali lipat dari jumlah keseluruhan di tahun 2001.


Misalnya saja, prajurit senior Angkatan Udara AS, Anthony Mena. Menjelang akhir hayatnya, Mena nyaris tidak pernah meninggalkan rumah tanpa membawa serta ransel yang isinya penuh obat-obatan.


Sekembalinya ia dari penugasan kedua di Irak, Mena mengeluh sakit punggung, insomnia, gelisah, dan sering mimpi buruk. Dokter kemudian mendiagnosis ia menderita PTSD dan memberikan resep obat sakit jiwa, minuman keras, serta narkotika.


Bukannya sembuh, derita Mena justru bertambah, demikian halnya dengan depresinya. "Saya nyaris putus asa," kata Mena kepada dokter pada 2008 seperti terlihat dalam catatan medis. "Mestinya saya mati saja di Irak," tambahnya.


Mena, 23, meninggal di apartemennya di Albuquerque pada 21 Juli 2009, lima bukan setelah meninggalkan tugas di Angkatan Udara karena alasan medis. Seorang ahli racun menemukan delapan jenis obat-obatan dalam darah Mena, termasuk tiga jenis obat anti-depresan, satu jenis obat penenang, satu jenis pil tidur, serta dua jenis obat penghilang rasa sakit.


Menurut paramedis, Mena tidak bunuh diri. Yang merenggut nyawanya bukan karena overdosis obat-obatan, melainkan begitu banyaknya obat yang diminum.


Setelah sepuluh tahun merawat ribuan prajurit yang terluka, sistem medis militer dibanjiri obat-obatan resep yang terkadang hasilnya mematikan.


Obat-obatan tersebut, dan juga narkotika penghilang rasa sakit, banyak dikaitkan dengan meningkatnya permasalahan lain, di antaranya ketergantungan obat, bunuh diri, dan kecelakaan fatal.


Berdasar laporan militer mengenai bunuh diri prajurit yang dirilis tahun lalu, dinyatakan bahwa sepertiga dari prajurit AS setidaknya meminum satu jenis obat.


"Penggunaan obat-obatan resep meningkat," demikian dinyatakan dalam laporan itu. Obat-obatan turut berperan dalam sepertiga dari 162 kasus bunuh diri oleh prajurit aktif pada tahun 2009. Sementara dari 2006 hingga 2009, 101 prajurit lainnya meninggal karena keracunan obat.


"Saya memang bukan dokter, tapi saya tahu bahwa semakin sedikit obat yang diresepkan, maka kami justru akan semakin baik," kata Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Peter W. Chiarelli yang memimpin upaya memerangi bunuh diri.


Kesadaran mengenai bahayanya kelebihan obat membuat Departemen Pertahanan meningkatkan pengawasan pemberian obat dan membatasi penggunaannya. (SMcom)